Beranda | Artikel
Menimbang Pernyataan Bebas Memilih Agama
Senin, 23 Desember 2019

MENIMBANG PERNYATAAN BEBAS MEMILIH AGAMA

Oleh
Syaikh Shâlih Fauzân bin Abdillâh al-Fauzân

Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi. Tidak ada nabi setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , hingga hari kiamat.

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…. [al-Ahzâb/33:40].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

Dan aku merupakan penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.

Syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan penutup syariat. Tidak ada syariat yang menyamainya, dan tidak ada syariat baru setelahnya hingga hari kiamat.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ 

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali ‘Imran/3:19].

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barang siapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. [Ali ‘Imran/3:85].

Islam, artinya menyerahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan mentauhidkan dan tunduk kepada-Nya dengan mentaati-Nya, dan berlepas diri dari kesyirikan serta para pelakunya. Islam dengan makna seperti inilah yang dibawa semua rasul. Jadi, Islam ialah mentauhidkan Allah, mentaati para rasul-Nya, dan mengamalkan syariat yang diberlakukan pada zamannya. Aqidah para Nabi itu satu (sama), yaitu mentauhidkan Allah Azza wa Jalla , sedangkan syariatnya berbeda-beda, karena Allah Azza wa Jalla memberikan syariat yang sesuai dengan masanya.

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا 

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. [al-Mâidah/5:48].

لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ﴿٣٨﴾يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ

Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh). [ar-Ra’d/13:38-39].

Apabila suatu syariat sudah dihapus, maka wajib mengamalkan syariat baru yang menghapusnya. Tidak boleh mengamalkan syariat yang telah dihapus. Karena mengamalkan yang telah dihapus bukan ibadah, tetapi hanya mengikuti hawa nafsu dan setan. Dan syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan penghapus bagi semua syariat terdahulu. Karena itu, wajib mengamalkannya dan meninggalkan syariat lainnya, karena semua sudah terhapus.

Syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencakup semua yang bisa memberi kebaikan kepada manusia, di setiap tempat dan segala keadaan.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا 

Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu. [al-Mâidah/5:3].

Yang dimaksudkan dengan kalimat “Islam” dalam ayat ini, ialah din (agama) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena setelah pengangkatan beliau sebagai Rasul, istilah Islam digunakan pada syariat yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah Azza wa Jalla kepada semua manusia.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya [Saba’/34:28].

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua …,”. [al-A’râf/7:158].

Oleh karena itu, seseorang yang tetap bertahan dengan agama-agama terdahulu, seperti Yahudi dan Nasrani atau lainnya, berarti ia menjadi orang yang ingkar kepada Allah Azza wa Jalla , karena tidak berada di atas agama yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk diikuti, yaitu agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ

Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. [al-Mâidah/5 : 67]

Setelah itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat kepada para Raja di muka bumi untuk mengajaknya masuk Islam, mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan membebankan atas mereka tanggung jawab ittiba’ jika mereka tetap kufur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengirim para utusan ke pelbagai penjuru dunia.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Mu’adz bin Jabal ke Yaman, seraya bersabda:

إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

Engkau akan mendatangi sebagian kaum Ahli Kitab, maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan, ialah syahadat Lâilaha Illallah dan Muhammad itu Rasulullah. [al-Hadits]

Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya. [at-Taubah/9:73].

Maka, Rasulullah pun bergegas melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin tentara dan membentuk pasukan untuk berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla . Kemudian para sahabat setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan jihad ini, sehingga berhasil menaklukkan dunia bagian timur dan barat. Dan agama Allah memperoleh kemenangan, meskipun orang-orang musyrik membenci.

Sehingga, berdasarkan uraian di atas, maka perkataan “bebas memilih agama” merupakan perkataan bathil. Perkataan ini akan mengakibatkan terhapusnya syariat jihad fi sabilillah, padahal Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi, dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. [al-Baqarah/2:193].

Juga memiliki konsekwensi, tidak perlu dikirimkan Rasul dan diturunkan Kitab untuk memerintahkan (manusia) beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata. Juga berarti, tidak boleh membunuh orang murtad yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibunuh, (sebagaimana) dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Orang yang menggantikan agamanya, maka bunuhlah dia. [HR al-Bukhâri].

Yang melontarkan perkataan ini, hanyalah golongan penganut wihdatul-wujud. Mereka berpendapat bahwa semua yang disembah ialah Allah Azza wa Jalla . Maha Tinggi Allah dari ucapan mereka. Perkataan ini kemudian bertemu dengan perkataan orang-orang musyrik ketika diperintahkan oleh para nabi mereka untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata dan meninggalkan semua sesembahan yang lain ; mereka berkata:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”, [Nûh/71:23].

أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ

Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. [Shâd/38:5].

Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ 

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). -al-Baqarah/2 ayat 256- yang dijadikan pegangan oleh para pengusung pendapat ini tanpa alasan yang haq, maka ayat tersebut tidak seperti yang mereka inginkan.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Maksudnya – al-Baqarah/2 ayat 256- yaitu, kalian jangan memaksa seseorang untuk masuk Islam”.

Maksudnya sangatlah jelas, tidak perlu memaksa seseorang masuk Islam. Akan tetapi, orang yang diberi petunjuk Allah Azza wa Jalla, dan dilapangkan dadanya untuk menerimanya, serta hatinya disinari, maka ia akan masuk Islam. Sedangkan orang yang dibutakan mata hatinya, pendengaran dan penglihatannya ditutup oleh Allah Azza wa Jalla , maka tidak ada gunanya memaksanya masuk Islam. Para ulama menyebutkan ayat ini turun pada sekelompok orang Anshar, meskipun hukum ayat ini bersifat umum.

Imam Ibnu Katsir membawakan riwayat dari Imam ath-Thabari rahimahullah, bahwa ada sekelompok orang Anshar yang memiliki beberapa anak yang masih memeluk agama Nasrani. Kemudian bapak-bapak mereka hendak memaksanya masuk Islam.

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
Sebagian ulama berpendapat, pengertian ayat ini dibawakan kepada para ahli kitab dan orang yang mengikuti agama mereka sebelum terjadi perubahan dan pergantian. Jika mereka sudah membayar pajak (artinya, orang kafir yang telah membayar pajak ini, jangan dipaksa masuk Islam, red). Sementara itu, sebagian ulama lainnya mengatakan, bahwa ayat ini telah dimansukh (dihapus hukumnya dan diganti, red) dengan ayat yang memerintahkan untuk berperang, dan wajib mendakwahi semua umat manusia agar masuk ke dalam agama Islam yang lurus ini. Jika ada di antara manusia yang tidak mau masuk Islam, tidak mau tunduk kepadanya, dan juga tidak mau membayar pajak, maka ia diperangi sampai terbunuh. Selesai perkataan Ibnu Katsir rahimahullah.

Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’diy mengatakan, dalam firman Allah Azza wa Jalla – al-Baqarah/2 ayat 256- ini, sebagai penjelasan mengenai kesempurnaan agama ini. Karena kesempurnaan bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayatnya, juga karena keberadaan Islam itu sebagai agama (yang sesuai dengan) akal, ilmu, fithrah, hikmah, agama kebaikan dan yang mengadakan perbaikan, agama yang haq dan agama petunjuk. Karena kesempurnaannya ini, juga karena diterima oleh fithrah, maka tidak perlu memaksa manusia masuk Islam. Karena pemaksaan itu ada hanya pada sesuatu yang tidak disenangi hati, bertentangan dengan hakikat dan kebenaran, atau pada sesuatu yang tidak jelas bukti dan tanda-tandanya.

Jika tidak demikian, maka orang yang telah sampai padanya din ini lalu dia menolaknya, tidak menerimanya, maka itu dikarenakan oleh pembangkangannya. Karena sudah jelas perbedaan antara petunjuk dan kesesatan. Sehingga, tidak ada alasan dan argumen menolak Islam.

Makna ini, tidak bertentangan dengan banyak ayat yang menyerukan kewajiban jihad. Karena Allah Azza wa Jalla mewajibkan jihad, supaya semua din (agama) itu hanya untuk Allah Azza wa Jalla , juga untuk menghalau kezhaliman para pelakunya. Dan kaum Muslimin sepakat, bahwa jihad itu tetap ada bersama dengan pemimpin yang baik dan zhalim. Itu termasuk yang difardhukan secara terus-menerus, jihad melalui ucapan ataupun perbuatan.

Jadi jelas, maksud firman Allah -al-Baqarah/2 ayat 256)-, bukan membiarkan manusia tetap berada di atas agama kekufuran, kesyirikan ataupun menyimpang, karena Allah Azza wa Jalla menciptakan makhluk agar mereka beribadah kepada-Nya semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. [adz-Dzariyât/51:56]. Barang siapa yang tidak mau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla , maka orang itu diperangi, sehingga semua agama (ketaatan, red.) itu hanya untuk Allah Azza wa Jalla[1]

Demikianlah, kita memohon kepada Allah agar Dia menunjukkan kepada kita kebenaran itu sebagai kebenaran, dan memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikutinya, serta menunjukkan kepada kita kebathilan itu sebagai sebuah kebathilan dan memberikan kekuatan untuk menjauhinya.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ  أَجْمَعِيْنَ

(Syaikh Shâlih Fauzân bin Abdillâh al-Fauzân. Kami terjemahkan dari kitab al-Bayân li Akhthâ`i Ba’dhil-Kuttâb, Cetakan Dârubnil-Jauzi 2/66-68).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Dan hal ini tentu dengan memperhatikan syarat-syarat dan adab-adabnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Seperti harus adanya kemampuan dan telah sampainya dakwah kepada mereka. Wallahu a’lam. (-red)


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/13935-menimbang-pernyataan-bebas-memilih-agama-2.html